Nasionalisme dan Oikumenisme: Jalan Setapak Menuju Dunia yang Layak Dihuni

Disampaikan pada Leadership Training Course (LTC) GMKI Cabang Majene, 2025

Suatu Pengantar

“Tuhan hanya akan menolong orang-orang yang berjuang menolong dirinya sendiri.” — Mahatma Gandhi

Setiap zaman mengajukan pertanyaan lama dengan wajah baru:

Bagaimana manusia bisa hidup bersama dalam damai, saling menerima tanpa saling meniadakan? Pertanyaan ini bukan sekadar wacana utopis.

Di tengah arus deras globalisasi, meningkatnya polarisasi politik, krisis iklim yang menjerat kehidupan, dan jurang digital yang memisahkan yang terhubung dan yang tertinggal, kita dituntut untuk memberikan jawaban yang tidak hanya idealis, tetapi juga operasional dan kontekstual.

Kita tidak cukup hanya berharap dunia menjadi lebih baik. Kita harus memikirkan bagaimana dunia itu dibentuk, serta dengan nilai apa ia dipelihara.

Di titik inilah, dua nilai yang dulu sering dilihat sebagai kutub yang bertentangan justru mesti saling bersinergi: nasionalisme dan oikumenisme. Yang satu mengakar pada cinta tanah air dan kebangsaan, sementara yang lain menjulang dalam kasih semesta dan kesadaran akan satu keluarga umat manusia.

Nasionalisme menegaskan identitas: “Aku adalah bagian dari bangsa ini.” Oikumenisme menumbuhkan relasi: “Aku adalah bagian dari seluruh ciptaan.”

Ketika keduanya berjalan seiring, kita bukan hanya membela yang dekat, tetapi juga merangkul yang jauh. Kita bukan hanya menjaga warisan, melainkan juga membuka masa depan. Di sinilah jalan setapak menuju dunia yang layak dihuni mulai terbuka, dan kita semua dipanggil untuk menapakinya.

“Sesamaku adalah pribadiku yang lain.”

Konsep ini sejalan dengan gagasan Franz Dahler dalam Asal dan Tujuan Manusia, bahwa keberadaan manusia selalu diarahkan kepada relasi: dengan Allah, sesama, dan dunia. Refleksi ini menantang batas pemisah antara aku dan kamu, antara bangsa dan bangsa, antara agama dan agama.

Jejak Sosial Manusia: Dari Bapakisme ke Bangsa

Sebelum bangsa-bangsa terbentuk, manusia hidup dalam sistem sosial yang sempit dan eksklusif. Yang dikenal hanyalah lingkaran keluarga (bapakisme) dan suku (sukuisme). Siapa pun yang berada di luar lingkar itu dianggap asing, bahkan ancaman.

Namun, kebutuhan bertahan hidup, menghadapi bencana, dan memecahkan masalah ekonomi memaksa manusia untuk menyusun struktur sosial yang lebih luas. Maka lahirlah bangsa, dan kemudian, dalam wujud politisnya, negara.

Nasionalisme pun muncul sebagai semangat kolektif. Ia memberi identitas, motivasi, bahkan kekuatan perlawanan. Tetapi sejarah mencatat bahwa nasionalisme juga bisa berubah menjadi alat dominasi, konflik, bahkan perang. Dari Eropa hingga Afrika, dari Perang Dunia hingga penjajahan modern, nasionalisme sering melukai justru ketika ia tidak dikendalikan oleh nilai yang lebih luhur.

“Barangsiapa ingin mempengaruhi pemuda, harus mengenal apa yang mengilhaminya.”

Dalam hal ini, pemikiran Yudi Latif dalam Negara Paripurna menyatakan bahwa nasionalisme Indonesia tidak dilandaskan pada keseragaman, melainkan pada keikhlasan untuk hidup dalam keberagaman yang saling melengkapi.

Nasionalisme yang Melayani, Bukan Mengagungkan

Nasionalisme tidak salah. Ia menjadi energi pembebas saat rakyat Indonesia bersatu melawan kolonialisme. Ia menegaskan bahwa kita memiliki akar sejarah, tanah air, dan mimpi bersama.

Namun, di era ini, nasionalisme harus ditata ulang. Ia tidak boleh berubah menjadi chauvinisme yang menolak perbedaan atau menjadi eksklusivisme kultural yang membusung dada atas nama superioritas etnis, agama, atau budaya.

Nasionalisme yang dibutuhkan sekarang adalah nasionalisme yang melayani. Yang melihat petani di kampung sebagai prioritas, bukan statistik. Yang mendengar suara nelayan, buruh migran, dan siswa di sekolah pelosok. Yang tidak malu mengakui kesalahan masa lalu, serta berani berbenah untuk masa depan.

Pdt. Dr. Zakaria J. Ngelow dalam bukunya Kekristenan dan Nasionalisme menegaskan bahwa gereja tidak boleh memutlakkan nasionalisme, tetapi justru menjadi suara profetik untuk memastikan nasionalisme tetap dalam koridor keadilan, perdamaian, dan kasih.

Oikumenisme: Kasih yang Tak Kenal Tembok

Istilah oikoumene berasal dari bahasa Yunani: “seluruh dunia yang dihuni.” Gerakan oikumenis lahir dari kesadaran bahwa perpecahan gereja melemahkan kesaksian Kristiani. Namun dalam perkembangannya, oikumenisme melampaui institusi dan menjadi spirit inklusif untuk membangun dunia yang adil dan damai.

Oikumenisme sejati menolak sekat: Ia tidak berhenti di altar gereja. Ia tidak puas dengan dialog antardenominasi. Ia menantang gereja untuk bekerja di bidang sosial, ekonomi, ekologi, dan perdamaian global. Oikumene adalah doa Kristus: “Supaya mereka semua menjadi satu.” Bukan hanya satu dalam ritual, melainkan dalam perbuatan kasih yang nyata di dunia yang penuh luka.

“Oikumenisme bukan sekadar kerja sama gereja, melainkan upaya menjadikan dunia ini rumah yang layak dihuni semua makhluk.”

Ini sejalan dengan refleksi teologis Franz Dahler, yang melihat panggilan manusia bukan hanya religius, tetapi ekologis dan sosial.

Dari Teologi Menuju Ekologi dan Ekonomi

Oikumene bukan hanya wacana spiritual. Ia menyentuh dua dimensi krusial zaman ini: Ekonomi (Oikonomia): Gerakan oikumene harus bekerja untuk membentuk tatanan ekonomi dunia yang adil, menantang sistem kapitalisme rakus, serta membuka jalan bagi distribusi sumber daya yang merata. Ekologi (Oikologia): Dunia adalah rumah bersama. Krisis iklim bukan isu asing bagi gereja. Menghidupi kasih Tuhan juga berarti memelihara ciptaan-Nya.

Dengan demikian, oikumene bersentuhan langsung dengan perjuangan rakyat kecil, dengan keadilan pangan, krisis air, kehancuran hutan, dan polusi digital. Ia tak bisa diam saat dunia rusak karena keserakahan manusia.

Perjumpaan Dua Arah: Sinergi Nasionalisme dan Oikumenisme

Apakah nasionalisme dan oikumenisme bisa hidup berdampingan? Ya. Bahkan keduanya saling mengisi. Nasionalisme menjaga agar kita tidak tercerabut dari akar budaya dan sejarah. Oikumenisme memastikan kita tidak kehilangan hati nurani saat melihat bangsa lain menderita.

Dunia membutuhkan warga negara yang mencintai tanah airnya tanpa membenci bangsa lain. Dunia butuh umat beriman yang setia pada panggilannya tanpa mengutuk iman orang lain.

“Bangsa yang besar bukan yang menutup diri, melainkan yang menyambut dunia tanpa kehilangan jiwanya.”

Tantangan Pemuda Zaman Ini

Pemuda Kristen Indonesia hidup dalam konteks kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai dinamika sosial, teknologi, dan lingkungan yang saling terkait. Berikut ini beberapa tantangan utama yang mereka hadapi:

Ketimpangan digital: Di era digital yang serba cepat ini, tidak semua pemuda memiliki akses yang sama terhadap teknologi dan informasi. Ketimpangan digital menciptakan jurang pemisah antara yang memiliki kemampuan dan akses internet dengan yang tidak, sehingga memengaruhi kesempatan belajar, berkreasi, dan berpartisipasi dalam pembangunan sosial-ekonomi.

Radikalisme agama: Munculnya paham radikal yang mengatasnamakan agama menjadi ancaman serius terhadap kerukunan dan toleransi antar umat beragama. Pemuda Kristen harus berhadapan dengan tantangan menjaga iman dan nilai-nilai kebhinekaan di tengah tekanan ideologi yang ekstrem dan cenderung memecah belah.

Krisis iklim dan pangan: Perubahan iklim yang drastis berdampak pada ketersediaan pangan dan kondisi lingkungan hidup, yang pada gilirannya mengancam kesejahteraan generasi muda. Pemuda Kristen menghadapi tugas penting untuk menjadi agen perubahan yang peduli serta berkontribusi dalam menjaga bumi sebagai anugerah Tuhan.

Polarisasi politik: Ketegangan dan perpecahan politik yang semakin tajam di Indonesia memengaruhi iklim sosial, di mana pemuda seringkali terjebak dalam konflik kepentingan yang mengikis rasa persatuan dan keadilan. Tantangan ini menuntut pemuda untuk cerdas dalam memilah informasi sekaligus menjaga sikap kritis dan inklusif.

Alienasi sosial: Meskipun hidup di era keterhubungan digital, banyak pemuda merasa terasing dan kesepian secara sosial. Alienasi ini muncul akibat minimnya interaksi tatap muka yang berkualitas, tekanan sosial, serta perasaan tidak diterima dalam komunitas, sehingga berdampak pada kesehatan mental dan semangat hidup mereka.

Menjadi pemuda bukan hanya soal semangat dan idealisme, tetapi memiliki pemahaman historis, keberanian kritis, dan spiritualitas yang membumi. GMKI, serta gerakan kepemudaan Kristen lainnya, dipanggil bukan sekadar menjadi penjaga warisan, melainkan pencipta arah baru.

“Jangan takut berbeda. Takutlah jika tidak lagi berdampak.”

Membangun Rumah Bersama

Dunia ini bukan milik satu bangsa. Ia adalah rumah bersama. Nasionalisme harus membuat kita peduli, dan oikumenisme mengajarkan kita untuk tidak menutup mata.

Mari, jadikan kehidupan kita sebagai saksi kasih Kristus yang berpijak pada tanah air, serta memeluk dunia dalam semangat damai. Mari menjadi pemuda yang tidak hanya berdoa, tetapi juga membangun. Tidak hanya bangga, melainkan juga berkorban. Tidak hanya mengkritik, tetapi juga merawat.

Karena masa depan tidak lahir dari keterpaksaan, melainkan dari kesediaan mencintai dan bekerja bersama.

Referensi Bacaan:

Franz Dahler, Asal dan Tujuan Manusia: refleksi eksistensial tentang hakikat manusia sebagai makhluk relasional. Yudi Latif, Negara Paripurna: telaah historis dan filosofis tentang nasionalisme Indonesia yang multikultural. Pdt. Dr. Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme: kritik teologis atas hubungan iman Kristen dan identitas kebangsaan.