Persepsi Mempengaruhi Tindakan Kita
Virus corona telah mewabah secara masif hingga menjadi pandemi global yang menakutkan, bahkan berdasarkan berita detik.com, Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) menyebutkan kasus corona sebagai krisis ekonomi global. Sungguh kejam dampak virus ini.
Coronavirus juga telah memaksa kita merangkak di tiga bulan pertama tahun 2020. Membuat kita berhenti sejenak. Pulang ke rumah dan kini lebih banyak berada di rumah. Semua kenyataan hari ini menunjukkan kepada kita suatu pelajaran penting. Pelajaran penting ini mengandung suatu pertanyaan besar yaitu siapakah kita?
Apa yang terjadi dengan rencana kita adalah bahwa suatu pukulan kesadaran. “oh iya, saya harus istirahat sejenak. Masuk ke dalam keadaan hening. Menunudukan hati dan mendengarkan sesuatu yang tidak ingin saya dengar dari atas langit – ialah suara Kehidupan.”
“Hai anak manusia, duduklah di sana sampai Aku memuaskan rongga cakrawala yang dahaga.”
Apa yang terjadi dengan rencana kita adalah suatu kepastian bahwa kita tidak bisa berbuat banyak sekarang. Juga sebagai suatu pengingat bahwa kita bukanlah pemegang kendali. Kita kecil, seluas daun kelor dan sungguh terbatas. Kita bukan siapa-siapa di bawah kolong langit ini. Kita adalah debu yang melayang-layang di atas udara dan sungguh-sungguh tidak mengetahui darimana datangnya badai dan akan membawa kita kemana. Kita hanya tahu dari mana datangnya pertolongan: bahwa tangan Tuhan tidak kurang panjang untuk memastikan debu-debu itu aman: bahwa telinga Sang Kehidupan begitu dekat dengan pengeluhan para debu, kita.
Ada banyak hal menyakitkan dan memilukan di dunia ini. Cornavirus adalah salah satu hal yang membuat orang panik dan getir. Cara kerjanya yang masif dan senyap tapi mematikan tidak hanya membuat rencana-rencana besar menjadi suatu fiksi tak bertuan, tetapi juga menjadi virus yang sungguh-sungguh ditakuti.
Batin kita terus menerus dibelokkan oleh gelombang informasi yang tidak pasti. Belum selesai kita membaca informasi di beranda facebook kita, ada berita tentang kematian beberapa orang akibat coronavirus di WAG (whatsapp group), baru selesai baca judul berita kita tinggalkan dan menengok Instagram story yang juga mengenai kasus yang sama, update terakhir Covid-19 di Indonesia meninggal: 114.
Penyadaran, kemawasan dan persepsi kita hanya melihat korban dari tragedi ini, pesan heningnya tak relevan. Jadi yang kita ingat adalah akibat-akibat yang buruk yakni kematian yang ditimbulkannya. Kita menyaring keluar apa yang kita pikir tidak penting, misalnya waktu terbaik bersama keluarga bukan harus pergi berlibur ke Bali tetapi bisa terjadi di rumah. Atau merupakan suatu pesan bahwa kita ini bukan siapa-siapa di hadapan Kehidupan.
Sudah terlalu jauh kita mengembara. Kita pikir, kita akan menemukan waktu yang tepat untuk melakukan perenungan yang dalam atas usia bumi kita: terhadap langkah kita mengenai ini dan itu. Saat ini adalah waktu yang tepat. Waktu yang tepat adalah kini, saat ini, disini dan sekarang.
Maka kita menghayati keadaan di mana seorang hamba menaruh rasa hormat sepenuh-penuhnya di hadapan Kehidupan (Tuhan): atau sikap taat dan tunduk kepada kehendak Tuhan: dan kita menjadi pasrah sebagai titik kesadaran bahwa langkah kaki kita sudah tidak seringan angin; berat berayun, lambat melangkah dan pijakannya tampak rapuh. Pasrah adalah kesadaran untuk meletakkan segala sesuatu di pundak Tuhan; mengizinkan Tuhan melakukan kehendak-Nya. Semoga, hari-hari yang buruk ini segera berlalu.
Inilah pesan hening yang tidak terdengar karena kita tidak ingin mendengarkannya. Kita hanya ingin mendengar apa yang ingin kita dengar yakni berita-berita tentang perkembangan pandemi virus ini entah benar atau palsu beritanya kita hanya ingin mendengarkan mereka. Kita hanya ingin mendengarkan berapa orang yang telah meninggal sebagai akibat dari virus ini. Inilah sebab utama dari ketakutan yang menguasai kita. Saat kita takut, kita kalah terhadap sesuatu yang tak punya kuasa sama sekali untuk membunuh kita, Saat kita takut, kita akan aktif membuat gelombang informasi semakin kencang – kita terlibat mendistribusi informasi atau berita yang kosong dan menakutkan.
Mengapa kita begitu takut hadapan kematian?
Kita takut mati karena kalau kita lihat, kematian itu betapa memilukan. Keluarga yang ditinggalkan begitu berduka dan kehilangan, mengundang empati dan pelukan keluarga yang lain. Penyadaran dan persepsi kita tentang kematian adalah pantulan dari kondisi yang sering sekali kita saksikan. Padahal, kematian mungkin saja menyenangkan. Walaupun belum ada yang bangkit dari kematian lalu mengatakan bahwa kematian begitu menyenangkan dan damai. Itulah mengapa orang-orang yang telah meninggal tidak pernah kembali (bangkit), kecuali Yesus. Karena damai, mereka yang meninggal tidak pernah kembali, mungkin saja.
Pemerintah mengimbau kepada kita untuk melakukan social distancing agar menghindari penyebaran virus. Semakin kecil penyebarannya, semakin cepat virus ini berakhir. Semakin cepat virus ini berakhir maka pemerintah tidak akan repot-repot berhadapan dengan kematian massal rakyatnya.
Ketika kita berfokus pada semua hal yang dapat membunuh kita, kita lupa mengenai semua hal yang semestinya membuat kita bersyukur setiap saat. Begitulah batin dibengkokkan oleh rasa takut. Jadi, untuk mengatasi rasa takut kita tidak boleh hanya memikirkan segala hal yang membunuh kita, namun juga harus ikut memasukkan semua hal yang mengandung makna kehidupan: rasa syukur, damai dan tertawa.