Virus Corona: apa yang terjadi dengan rencana kita

Infeksi virus corona disebut sebagai covid-19 dan pertama kali ditemukan di kota Wuhan, Cina, pada akhir Desember 2019 lalu.
pixabay.com

Virus corona dan suatu perspektif tentang kita yang bukan siapa-siapa di hadapan Kehidupan (Tuhan).

Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang lebih dikenal dengan nama virus corona adalah jenis baru dari coronavirus yang menular ke manusia. Virus ini bisa menyerang siapa saja, baik bayi, anak-anak, orang dewasa, lansia, ibu hamil, maupun ibu menyusui. 

Infeksi virus ini disebut COVID-19 dan pertama kali ditemukan di kota Wuhan, Cina, pada akhir Desember 2019. Berdasarkan berita kompas.com pada tanggal 27 Maret 2020, virus ini telah mewabah dengan masif hingga tembus 200 Negara.

***

Menjelang akhir tahun 2019, setiap orang menundukan hati dan menengadah ke langit: Apa saja yang telah dikerjakannya selama tahun tersebut, berapa yang berhasil, seberapa besar yang tidak mengandung untung; apa saja yang belum sempat dikerjakan, apa saja yang perlu diperbaiki. Lagi-lagi, setiap orang kembali menghadap selembar kertas yang berisi resolusi 2019.

Belum selesai, tiba-tiba babak 2020 segera dimulai. Menjadi referensi, kertas kecil yang berisi resolusi 2019 atau sekeping ingatan yang lusuh di akhir tahun mengenai rencana besar maupun kecil di 2019 itu diletakan tepat di samping kertas yang masih kosong atau juga di beberapa kotak kesadaran manusia yang hendak menuliskan resolusi 2020. 

Kadang, dengan iman dan harapan orang-orang me-resolusi atau masuk kedalam resolusi sehingga tampak religiusitasnya. Kadang, dengan bekal sebongkah pengalaman orang mulai meresolusi sehingga tampak adagium suatu revolusi yang besar. Kadang, hanya karena orang lain memiliki resolusi akhirnya ikut-ikutan juga. Membuat resolusi asal jadi dan menjadikannya sederhana saja. 

Ada juga yang membuat rencana ini dan itu tetapi mereka enggan menyebutnya sebagai resolusi. Mungkin supaya tidak mau ikut dalam keadaan masyarakat yang terpola bahwa setiap awal tahun mesti ada suatu resolusi.

***

Pada tanggal 21 Maret saya menerima chat dari seorang sahabat. Demikian bunyinya: “Dulu… kita berkhayal kalau tahun 2020 mobil sudah bisa terbang, robot dimana-mana, teknologi semakin  canggih, tapi ternyata khayalan nya salah…Tahun 2020 kita baru diajarkan bagaimana cara mencuci tangan…🤭🤭🤭”

Segera saya tertawa terbahak-bahak dan masuk kedalam suatu penghayatan bahwa kita bisa melakukan apa saja hari ini, kini, sekarang. Bahkan dalam keadaan sekarang kita bisa menyusun berbagai rencana yang kita lakukan baik untuk sejam dari sekarang, sehari berikutnya, seminggu berikutnya dan berlanjut pada tahun yang akan datang. 

Sayangnya, kita hanya bisa membuat rencana. Mata kita kurang tajam melihat realitas yang akan datang. Telingah kita kurang dalam mendengarkan kenyataan semenit kemudian dan tangan kita tidak kurang panjang memeluk erat apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebagaimana dalam surat Yakobus kepada suku-suku di perantauan: “…sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.”  (Yakobus 4:14).  

Selain kita tidak mampu merengkuh keadaan kita di menit selanjutnya Hidup manusia di dunia ini hanyalah seperti uap, yang sebentar ada dan berlalunya teramat cepat.

***

Siapkah Kita?

Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.

Kita membayangkan 2020 adalah tahun yang luar biasa. Kita akan sukses mengurus ini dan itu. Kita akan pergi ke Bali atau ke kota anu. Kita akan membeli rumah kecil di bawah lereng bukit jauh dari hiruk pikuk perkotaan yang kumuh. Kita akan pacaran, tunangan dan menikah. Ada yang akan segera punya momongan untuk menambah kehangatan keluarga. Rencana tinggal rencana. Kenyataan tidak sesuai rencana.

Andaikata, poin-poin resolusi itu punya otak dan mulut. Mungkin saja kita telah diinterogasi siang malam dalam beberapa pekan terakhir ini: “Hai lemah…mengapa kami dibiarkan dalam kertas ini tanpa sedikitpun penghayatan mu terhadap keadaan kami. Ayok eksekusi kami. Dasar lemah!” Beruntung sepucuk kertas atau sebongkah ingatan seperti papan kosong yang telah terisi beberapa poin resolusi itu hening di dalam dunia mereka.

***

Pada penghujung bulan Maret 2020, kita sadar bahwa kita bukan siapa-siapa dihadapan Kehidupan. Kita hanya bisa beresolusi. Kita hanya bisa melakukan rencana ini dan itu. Kita seperti abu yang beterbangan di cakrawala dan ingin berada disana atau disini sementara kita tidak bisa memprediksi darimana datangnya angin dan akan kemana. Lebih buruk lagi kita membuat berbagai rencana tanpa menyadari badai besar yang akan datang. 

Siapakah kita? Keadaan ini sungguh memilukan. Kita merana dihadapan Kehidupan. Kita berbaring di bawah cakrawala sebagaimana tahun-tahun sebelumnya dengan berurai ketakutan, air mata dan pupus. Sesekali ujung bongkahan ingatan berisi resolusi yang tajam menusuk-nusuk badan kita untuk berlutut dan merendahkan diri dihadapan Kehidupan, segera! “Sang Kehidupan, hanya kepadaMulah kami berlindung. Semoga.. hari-hari yang buruk ini segera berlalu.”

Kita sudah merangkak di bulan ke-3 2020. Sungguh, kita bukan siapa-siapa di bawah kolong langit ini. Si kaya dan si miskin, atau si borjuis dan si tak punya apa-apa pun merengek: Si kaya merengek karena akan jatuh miskin atau mengalami kematian, si miskin was was akan makan apa berikutnya – Kematian terlalu jauh untuk dikhawatirkan. 

Untuk waktu yang belum ditentukan, resolusi 2020 kita lipat dan letakan di bawah lutut yang tak jenuh-jenuh menghadap Kehidupan.

Artikel selanjutnya akan membahas tentang upaya menghayati "apa yang terjadi jika tidak terjadi"
Bung Jhon

Author Bung Jhon

Saya adalah yang paling tahu siapa saya bahwa saya banyak tidak tahu. Sepanjang hidup, saya senang berfikir dan berefleksi di samping membaca. Anda tahu? saya menulis kemarin, minggu lalu, sebulan yang lalu dan setahun yang lalu; Saya baca hari ini: kini, saat ini, sekarang dan saya malu sekali. Saya malu karena tulisan saya datar, dan dangkal sekali maknanya. Saya tersadar: Bahwa menulis adalah seni mengungkapkan kebodohan.

More posts by Bung Jhon

Join the discussion 7 Comments

Leave a Reply